Tiga orang guru asal Lubuk Basung Sumatera Barat belajar melatih siswa disabilitas rungu dalam merespon bunyi di SLBN 02 Jakarta. Hal ini perlu dilakukan, mengingat selama ini siswa disabilitas rungu mendapat pembelajaran untuk merespon bunyi melalui praktek Pengembangan Komunikasi, Persepsi, Bunyi dan Irama (PKPBI).
Tiga orang guru ini merupakan Guru SLBN 1 Lubuk Basung yang menjadi guru mitra untuk mempelajari dan praktek PKPBI. Guru tersebut merupakan guru mitra yang mengikuti program Kemitraan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud.
Program ini mempertemukan guru inti dan guru mitra untuk saling berbagi pengalaman, menginspirasi, dan mengembangkan kerja sama dalam upaya peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan.
“Dalam kegiatan ini, saya sebagai guru inti sharing Program Khusus PKPBI. Jadi melatih siswa supaya bisa merespon bunyi. Kalau mereka terbiasa merespon bunyi maka kemampuan merespon suara dan bahasa akan berkembang,” ujar Puji yang merupakan Guru Inti dari program kemitraan tersebut.
Tak hanya melihat, para guru mitra juga diminta menyusun asesmen, perencanaan, penilaian dan praktek pada siswa tuna rungu di SLBN 02 Jakarta. Secara bergiliran para guru mitra melakukan praktik pada dua siswa disabilitas rungu untuk merespon dan mengidentifikasi bunyi – bunyi yang dibuat dari berbagai media, seperti drum atau rebana.
Diharapkan setelah kegiatan ini, guru mitra bisa kembali ke sekolah sebagai guru khusus bahkan bisa menambah guru khusus untuk disabilitas Rungu. Sebab selama ini, guru yang menangani anak disabilitas merupakan guru kelas. Sehingga mereka kesulitan dalam mengajar karena tidak mempunyai ilmu dan kompetensi menangani anak berkebutuhan khusus.
“Setelah guru mitra kembali akan ada pendampingan secara online dan dilanjutkan kunjungan guru inti ke sekolah mitra. Dan akhirnya akan ada guru imbas di daerahnya,” pungkasnya.
Sementara itu, Guru SLBN 1 Lubuk Basung, Feri, mengaku banyak mendapat masukan dan ilmu baru selama program ini. Pasalnya ia sebagai guru kelas cukup kesulitan menangani anak disabilitas di sekolahnya.
“Kalau di Lubuk Basung selain kami kekurangan sarana dan prasara, kami sebagai guru juga kurang tekniknya selama di sekolah. Setelah praktek di Jakarta, kami bisa lebih atraktif prakteknya,” kesannya.